Tujuh Belas Agustus, Ada Apa Dengan Dikau?

Friday, June 3, 2016

| | |

Ada apa dengan 17 Agustus tahun ini selain bertepatan dengan weekend yang dirasakan setiap weekendnya. Tak ada yang istimewa dengan 17 Agustus, makanya wajar jikalau saya heran dengan gegap gempita para media sang pengubah mindset masyarakat yang terkadang berprilaku seolah tak merasa bersalah dengan kesalahannya.

Untuk tahun ini saja 2 kali aku mengalami hal yang menurutku cukup identik, bahkan sampai-sampai aku sempat merasa mengalami deja vu. Suasana pada Bulan Ramadhan yang mencapai puncak di shalat Idul Fitri yang mirip dengan bulan peringatan pembacaan teks proklamasi RI.

Dalam bulan Ramadhan, sebagian besar umat muslim berkamuflase menjadi muslim yang taat. Sajadah disempang dibahu, sarung melekat atau langsung memakai jubah terusan, serta kopiah untuk mempergagah penampilan. Sedangkan untuk perempuannya, seharian bersama mukenahnya. Masjid pun mirip taman wisata yang menarik minat ketika musim libur telah tiba. Suara tadarruz Al-Qur’an membahana diseantero nusantara seolah-olah ingin menebus kesalahannya selama 11 bulan yang tak pernah menjamah Al-Qur’an sedikit pun.

Hal yang sama berlaku untuk bulan teks proklamasi. Dikarenakan kebetulan 17 agustus dan sekitarnya mepet dengan Ramadhan, maka waktu persiapan pegelaran seolah nasionalisme diperpanjang. Begitu banyak atribut bercorak sama merah dan putih terpampang disetiap sudut negeri ini. Masyarakat yang kebanyakan tak menyadari bahwa mereka sakit ini langsung merubah perannya, dari yang ahli ibadah menjadi patriotik banget.

Bulan Ramadhan yang puncaknya Idul Fitri ini tak ada bedanya dengan bulan teks proklamasi. Oleh masyarakat sakit ini sama-sama didengungkan dengan dahsyat ketika masuk bulannya dan akan terlupakan secara teratur seiring nafsu yang tak tertahankan serta westernisasi yang bisa mengangkat trendinya kehidupan mereka.

Tak ada yang spesial di 17 agustus, selain hanya pidato serta ocehan berbau nasionalisme oleh para kaum yang merasa dirinya menguasai masyarakat yang sakit. Mereka menganggap dengan slogan nasionalsime serta pakaian yang bercorak merah putih sudah lepas kewajibannya terhadap rakyatnya, sudah terhapus segala dosanya terhadap rakyatnya. Anggapan yang keren menurutku.

Maka Hal paling rasional yang bisa kulakukan pada 17 Agustus cukup sederhana. Ritual yang sudah saya terapkan selama 3 tahun belakangan ini. Bersemayam, bersemedi, dan melakukan kontemplasi dibawah selimut sambil merutuki para manusia penampuk kekuasaan yang sebagian besar dari mereka, merasa dirinya manusia setengah dewa. Hal menggelikan menurutku, untuk kalian para manusia yang ingin menjadi setengah dewa, silahkan bermimpi mewujudkan impian kalian, karena disini ditempat paling nyaman menurutku, aku bisa memimpikan kalian tak bisa meraih impian yang kalian inginkan. Sungguh hal yang fantastis pikirku.

# Sekedar ocehan dari salah satu masyarakat malas yang jengah dengan kepongahan para penguasanya. Hanya catatan mengisi waktu senggang untuk menjemput tidur yang susah didapatkan. Tak ada niat apa-apa dari tulisan ini selain hanya menuangkan apa yang ada dikepala, sehingga ketika beranjak ke tempat ternyamanku, bebanku karena tingkah pongah para manusia setengah dewa bisa berkurang, sungguh pekerjaan yang tidak berguna buat sebagian orang (mengurusi Negara yang tidak punya solusi ditambah dengan kelakuan penguasanya). Jikalau ada yang tersinggung, mohon dimaafkan. Bukan karena tulisan ini aku mau dimaafkan tapi karena muak dengan trend selebriti dadakan.

# mengangkat kepala cerita dengan adanya unsur bagian 1, berarti berniat membuat bagian 2. Yah, rencana sih begitu. Tapi, seperti kata bijak yang sering didengungkan ‘manusialah yang merencanakan, Tuhan yang menentukan’, jadi lihat esoknya sajalah. Hehehehe

Katanya Seh Part II…

Setelah berpikir semalam suntuk, akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan rentetan kalimat yang kubuat sebelumnya. Sekali lagi tak ada unsur apapun didalamnya, namun ada perasaan mengganjal yang ingin kubagi kepada orang disekitarku, untung – untung bisa dilihat oleh ribuan manusia di belahan dunia. Semoga !

Tujuh Belas Agustus setiap tahunnya diperingati dengan kemewahan. Perlombaan sana sini, katanya untuk mengenang jasa para pahlawan. Tapi terkesan dan mengarah ke arah yang berlebihan. Padahal dahulu kala para pahlawan justru kekurangan dalam membela negeri ini. dengan bermodalkan bambu runcing, sedangkan para kaum penjajah mengenakan senjata. Ah, sungguh tragis bangsaku.

Para penguasa yang sekarang ini yang katanya mempunyai Nasionalisme yang besar tak ayal Hanya Menuai hasil yang tak pernah mereka tanam. Justru sekarang mereka malah asyik menghamburkannnya. Bahkan dengan entengnya dan tak punya rasa malu, menjual apa yang bukan hasil jerih payahnya kepada penduduk di negeri seberang, sedangkan negeri sendiri tak berkecukupan. Aduh, malang nian nasib Bangsaku.

Sekarang bangsa kita survive berkat usaha dan kerja keras para pahlawan kita. Dengan segala keterbatasan mereka, memukul mundur para penjajah yang berusaha mengambil alih hunian kita. Nah, kalau sekarang para penampuk kekuasaaan justru ngehamburin jerih parah para pahlawan kita? Nah, generasi kita yang selanjutnya bagaimana dunk? Waduh, para nih. Bukankah kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh generasi yang selanjutnya? Semestinya kita mencontoh para pendahulu yang berjuang untuk kelangsungan hidup kita sekarang, nah bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memikirkan bagaimana nasib generasi kita yang selanjutnya? Sebuah tanda tanya yang masih menjadi tanda tanya besar untuk kita pikirkan?

#Repost

1 comments:

Post a Comment