End Our Comfort Zone

Sunday, July 20, 2014

| | | 0 comments
Di keheningan malam di bulan juli tepat pada tanggal 20 tahun 2014.

Aku kembali mengangkat jemari, memulai kembali membuatnya menari diatas setumpuk huruf keyboardku. Dengan sekuat tenaga, kucoba menarik kembali semua endapan yang sudah terlampau jauh di dasar. Sudah terlalu nayaman rupanya berada di zona nyaman. Zona nyaman merupakan zona yang ingin dihindari setiap manusia, namun terkadang tak sadar kita sendiri yang tak ingin menjauh darinya. Dan itu kini menimpa diriku. COMFORT ZONE!!!

Let move on guys, itu yang sedang coba untuk saya perjuangkan. saya berencana bercerai dengan comfort zone, lalu bersama dengan si move on. semoga dengan si move on, hidup saya lebih bersemangat, lebih berkemang dan lebih baik. Eh, apa - apaan ini? Ah, kenapa bahasannya membelok ke nikah dan cerai, waduh, parah ini. Salah satu efek bulan depan banyak yang sudah ingin mendengungkan kata Nikah, Tapi Wallahualam deng Cerai. Saya agak ngeri dengar kata itu. Jadi, mari kita kembali ke laptop.


Saya ingin membuat pepatah tentang zona nyaman namun keburu di dahuli sama Neale Wals yang bilangnya bgni "Life begins at the end of your Comfort Zone". Kalau pakai kamusnya mila, artinya itu kurang lebih seperti ini "Hidup berawal dari mengakhiri Zona Nyaman atau mngeluarkan diri dari zona nyaman". Maaf ya kalau artinya belum pas dan mengikuti kaidah. Ya, saya sepakat dengan Neale Walsh yang mengatakan bahwa hidup itu berawal dari mengeluarkan diri dari zona nyaman kita. 

Aku, FLP & Social Media(SOCMED)

Sunday, May 18, 2014

| | | 0 comments

Siang itu, dikala kepenatan menghampiriku. Menggerogoti seluruh isi kepalaku, merampas energy yang sudah mulai berkurang, aku mulai bosan dengan rutinitasku di salah satu kampus pecetak umar bakri ini. Pikiranku mulai melayang, hingga tiba pada salah satu pusat perbelanjaan. Tanpa pikir panjang langsung saja ku langkahkan kakiku menuju pemberhentian pete – pete berkode B. Ah, mungkin ini bisa mengurangi kepenatan. Dalam perjalanan menuju pusat perbelanjaan, saya lalu mengutak atik gadget dan langsung tertuju pada salah satu social media. Disinilah bermula ku mnegenal FLP. Lewat social media. Ternyata Tak selamanya social media yang biasa di singkat Socmed oleh anak – anak belasan tahun itu membawa dampak yang negative, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Berkat adanya social media ini, saya bisa mengetahui Forum Lingkar Pena ini.
Forum lingkar pena yang terlintas di benakku sebelumnya ialah sebuah forum yang hanya memfokuskan anggotanya dalam dunia tulis menulis. Ternyata tak hanya itu, dalam FLP pun kita diajarkan menjadi seseorang yang bisa bekerja sama dengan baik, baik itu dalam kepanitiaan maupun kegiatan – kegiatan lainnya. Singkatnya, FLP mengajarkan kita arti akan organisasi. Tak hanya itu, kita pun selalu diajak untuk menyeru ajaran agamaNya dalam artian berdakwah. Seseorang dikatakan berdakwah tidak hanya pada saat kita berada di atas mimbar lantas menyerukan ajaran agama. Tapi ada salah satu cara berdakwah yang sangat mudah dan yakin saja, setiap orang bisa melakukannya, dimana pun dan kapanpun. Salah satu caranya ialah dengan bermodalkan kertas, pulpen maupun gadget ataupun laptop. Ya, salah satu caranya ialah dengan menulis. Kita tak perlu repot – repot menghafalkan seruan – seruan yang akan kita lantunkan di atas mimbar. Kunci membaca dan tekunlah. Namun hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita pun berproses didalamnya.
Begitu banyak harap yang ingin ku sematkan pada FLP. Aku ingin menjadi penulis yang tak hanya cakap dalam dunia tulis menulis, tetapi handal pula dalam menghandle sebuah kegiatan serta mampu menyerukan ajaran – ajaranNya. Sebuah kutipan yang selalu terngiang di kepalaku. Sebuah kutipan dari seorang tokoh sastra yang banyak di kagumi.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” – Pramoedya Ananta Toer

Pergeseran Makna Pengkaderan

Monday, February 17, 2014

| | | 0 comments

Setiap Tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya ditingkat universitas, mahasiswa seringkali dihebohkan dengan yang namanya pengkaderan. Tak lengkap rasanya mengenyam dunia kampus tanpa mencicipi pengkaderan. Pro dan kontra menemani perjalanan pengkaderan hingga saat ini.
Pengkaderan mempunyai dua landasan yaitu filosofi dan Normatif. Dimana landasan filosofi menyangkut tentang manusia dan mahasiswa beserta perannya dalam masyarakat, seperti agent of change dan social control. Adapun landasan normatif, berhubungan dengan aturan – aturan yang berlaku pada suatu organisasi yang bersifat wajib dan harus dipatuhi. Pengkaderan dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang tidak lupa akan perannya sebagai manusia dan mahasiswa yang tidak bersifat apatis atau acuh tak acuh terhadap lingkungan disekitarnya.
Awal Mula Perpeloncoan
Perpeloncoan telah ada pada zaman dahulu, tepatnya pada zaman kolonial Belanda, dimana saat itu berlaku sistem feodalisme. Sistem feodalisme merupakan sistem yang memberikan kekuasan penuh pada golongan bangsawan. Dimana dalam pelaksanaanya ditandai dengan banyaknya tindak kekerasan. Golongan bangsawan berkuasa penuh terhadap golongan dibawahnya. Dalam konteks mahasiswa, Hal inilah yang kemudian menimbulkan senioritas, dimana senior berkuasa penuh terhadap juniornya. Perpeloncoan kini telah menjadi momok bagi mahasiswa baru. Mereka menganggap perpeloncoan sama halnya dengan pengkaderan, namun pada dasarnya berbeda. Pengkaderan membawa muatan-muatan yang bermanfaat bagi mahasiswa baru, sedangkan perpeloncoan hanyalah kesia – siaan. Tidak ada manfaat yang ditimbulkan.
Potret lain Dibalik Pengkaderan
Masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya terkadang menyalahartikan pengkaderan. Mereka menganggap bahwa pengkaderan hanyalah perpeloncoan dan kekerasan semata. Tak dapat dipungkiri, pengkaderan memang erat kaitannya dengan kekerasan, namun itu semata – mata dimaksudkan agar junior berada di dalam kuasa seniornya. Kekerasan yang dimaksudkan dalam hal ini seperti tendangan, pukulan, maupun kategori rendah seperti push up ataupun lari keliling. Padahal mereka diperlakukan seperti itu, akibat dari kesalahan dan kelalaian mereka sendiri seperti, tidak datang tepat waktu, tidak mengenakan pakaian yang sesuai, dan lalai dalam tugas yang diamanahkan kepadanya. Kekerasan yang diberikan kepada mereka, semata – mata agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pengkaderan pun ditujukan untuk memangkas sifat mahasiswa yang individualistik, yang merupakan perilaku yang masih dibawa semasa SMA. Dimana mereka diajarkan untuk menjunjung tinggi kebersamaan. Adapun maksud dan tujuan kekerasan dalam pengkaderan ialah untuk melatih mental para mahasiswa agar bermental baja, tidak bermental kerupuk yang nantinya akan menghasilkan generasi – generasi yang cenggeng dan lembek. Namun, dalam perjalanannya, kader – kader yang dihasilkan dalam pengkaderan tak seperti apa yang diharapkan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kekurangan dari pengkaderan, kurangnya evaluasi yang dilakukan si pengkader, jikalau sang kader tidak seperti apa yang kita harapkan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian yang serius agar pengkaderan dapat meghasilkan kader – kader yang berkualiatas.
Pengkaderan ala Indonesia dan Negara Maju
Negara – Negara maju seringkali menjadi cerminan bagi Negara Indonesia. Mengapa kita tidak mengikut pada prosesi penyambutan mahasiswa baru pada Negara – Negara maju yang dimana dalam pelaksanaannya tidak terjadi tindak kekerasan, kita diperkenalkan pada lingkungan kampus secara bersahabat? Namun, pernahkah terpikirkan dibenak kita, bahwa kita berbeda dengan Negara – Negara maju, para pelaku – pelaku yang terlibat didalamnya bisa dibilang sudah professional. Sedangkan di Indonesia? Mahasiswa masih perlu perhatiaan yang khusus. Maka perlu di adakan pengkaderan.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) pengkaderan merupakan proses, cara, perbuatan mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Dalam artian, kita membuat karakter seseorang menjadi lebih baik. Pada Negara maju, pengenalan kampus terbilang singkat di tambah lagi mahasiswa lebih diarahkan kepada kegiatan akademis. Para orang tua lebih bangga jika anak – anak mereka punya IPK Tinggi tanpa mempertimbangkan penyaluran potensi yang dimiliki oleh anak-anaknya.  
Pengkaderan yang Ideal

Sudah idealkah pengkaderan kita? Ataukah sudah berkualitaskah kader-kader kita, yang punya prestasi dibidang akademik tapi tidak mengesampingkan potensi yang mereka miliki? Ini mungkin beberapa pertanyaan yang sering terlintas dibenak kita, melihat kondisi kurang baiknya keluaran dari pengkaderan kita. Selama ini, belum ada format ideal yang benar – benar bisa menciptakan kader yang berkualitas tidak hanya dalam hal akademik, tapi juga dalam hal berorganisasi. Bahkan pihak birokrat pun seringkali mengganggap pengkaderan tak ada gunanya, melihat orang yang mengkader belum tentu bisa menjadi contoh yang baik untuk sang kader kelak. Inilah kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin pengkader bisa menciptakan kader yang baik atau berkualitas, sedangkan sang pengkader pun masih belum bisa menjadi contoh yang baik? Ataukah kita harus mengadakan semacam pelatihan untuk pengkader(Training Of Trainer) agar kelak sang pengkader bisa menghasilkan kader yang berkualitas? Ataukah kita hanya mengikuti tradisi yang sudah ada?

Rekam Jejak Danau Tanralili

| | | 1 comments
"Kesederhanaan, Kebersamaan, Kekuatan Cinta
Ketiga Energi yang membuat kami bertahan"
            
Kisah ini berawal dari kegelisahan beberapa kawan yang ingin merasakan sensasi alam yang damai, sensasi pendakian yang menantang, serta keinginan untuk menjauh sejenak dari hingar bingar ibu kota Sulawesi selatan. Kami pun berembuk dan menyepakati untuk meninggalkan ibu kota Sulawesi selatan dan menyatu dengan alam di danau tanralili. Danau tanralili merupakan tempat yang belum terjamah, dan jaraknya pun lumayan menyita energi. Jaraknya ± 40 Km dari kota bunga Malino. Kami pun menyepakati untuk berangkat pada hari jumat dan pulang pada hari minggu. Tiba saatnya, Jumat 6 Desember 2013 tepatnya pukul 22.00 Wita, kami pun meninggalkan ibu kota Sulawesi selatan dengan rasa penasaran, dan di bumbui dengan rasa deg – degan. Namun, satu hal yang tak bisa kulupakan sebagai seorang pemula, sensasi membawa carel yang begitu melelahkan. Namun ada sedikit perasaan bangga yang terselip di antara lelah itu. Bangga karena bisa menaklukkan carel yang lumayan berat. Dengan berbekal sepeda motor formasi 1-10, kami menembus dinginnya perjalanan menuju kota bunga, membuang semua lelah, demi sebuah tekad.

Setibanya di lokasi tempat kami menambatkan sepeda motor, kami kembali bermusyawarah, apakah kita akan lanjut sekarang ataukah melanjutkan pendakian esok hari. Ternyata teman – teman bersikeras untuk melakukan pendakian. Dengan dikomandoi oleh Rifky dan diawasi oleh Tasbir kami akhirnya memulai pendakian menuju danau tanralili sekitar pukul 02.30 dini hari, diselimuti oleh perasaan was – was. Seperti tak mengenal lelah, kami terus menyusuri jalanan berbukit, berbatu dan beberapa aliran air yang harus kami sebrangi.

"Sang surya belum menampakkan sinarnya, sementara bulir – bulir air begitu asyik menggelayut di dedaunan dan rerumputan, hingga dingin terus menyelimuti"

Dengan gigi gemetar akibat kedinginan, ku langkahkan kaki menuju sungai. Tanganku terbata – bata mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat shubuh. Brrrrrrrr…. Dinginnya tak kalah dengan air es. Rasa – rasanya tak ingin menyelesaikan wudhu ini, tak sanggup dengan airnya yang begitu menusuk – nusuk kulit. Baru kali ini merasakan khusyuknya shalat shubuh di tengah – tengah alam, dikelilingi pohon, diiringi gemericik air dari sungai. Subhanallah…!!!. Usai melaksanakan shalat shubuh dan bersih – bersih, kegiatan berlanjut dengan masak – memasak. Namun, sebelum memasak kami memutuskan untuk menghangatkan diri terlebih dahulu dengan meneguk secangkir kopi ala bang iwan Fals. “Bongkar, bongkar, Bongkar Tendanya” Celetuk salah seorang teman yang mengundang gelak tawa kami semua. Tanpa sadar, aku menggerutu dalam hati “lagi lagi indomie, tidak di Makassar, tidak di tanralili, makan indomie terus, Huuufffttt”. Sebelum akhirnya keluh kesahku keluar, buru – buru ku lafazkan istigfar. Kegiatan masak memasak lumayan menyita waktu, dikarenakan kompor yang tidak mumpuni, hingga alat masak memasak yang serba imut. “Wajar saja, kita lagi di alam, manfaatkan yang ada” ujar salah seorang teman. Kegiatan masak memasak pagi itu di ketuai oleh kanda Basrul dan makanan pagi itu cukup melimpah ruah, mulai dari indomie, kacang, sarden, hingga makanan yang cukup mengurangi selera makanku, tak usahlah ku sebutkan mereknya. Setelah lambung tengah dibereskan, Tibalah saatnya kami harus meninggalkan tempat ini, meninggalkan sejuta kenangan.

"Alam ini begitu indah, mari kita bersahabat dengan mereka. Pelihara mereka agar tetap indah"
Danau Tanralili, 06-08 Desember 2013


Ku Selipkan kata “Maaf” Dalam Untaian Kata Untuk Mamak dan Bapak

Sunday, January 5, 2014

| | | 0 comments



“Kamu Harus Tegar Mila”
(Kata – kata yang harus ku tanamkan pada diriku, meskipun terasa sangat sulit)

Hari ini, saya harus membiasakan diri menyemangati diri sendiri, Membiasakan dirimu tak bergantung sepenuhnya pada orang lain. Ternyata benar apa yag dikatakan oleh kanda Anfir “tak ada manusia yang bisa hidup dalam kesendirian, ia akan melakukan berbagai cara untuk mengeluarkannya dari kesendirian itu”. Mak, Pak, Apa kabarmu disana? Disini, jauh di tanah rantau, diriku amat sangat merindukanmu. Seiring dengan rangkaian kata ini, sekali lagi ku selipkan kata maaf di dalamnya. Maaf karena saya belum sempat memakai toga yang selalu kalian impikan, maap karena saya begitu terlena dengan duniaku sendiri dan maaf atas diriku yang selalu saja menyepelekan perkataan kalian. Oia, Apa kabar dengan rumah kita? Masihkan ia seperti yang dulu? Tempat dimana kita berbagi cerita. Hufft, Diri ini selalu rindu dengan suasana itu.

Mak, pak, tidakkah kalian merindukanku, Anakmu yang jauh diperantauan ini? Aku ingin menceritakan semua keluh kesahku pada kalian, tapi jujur lidah ini begitu keluh ketika berbicara dengan kalian. Tak ingin ku menggoreskan luka sedikit pun pada kalian. Perkataan sedih seakan enggan terlontar. Kan ku simpan semua duka ini rapat – rapat, dan biarlah ini menjadi tanggunganku. Kalian sudah sangat banyak menanggung pedih akibat ulahku, aku tak ingin lagi menambah berat beban kalian.

Mak, Pak, tahukah kalian bahwa Nama Mamak dan Bapak selalu ku sebut di akhir sujudku. Aku juga yakin Mamak dan Bapak juga melakukan hal yang sama, jauh sebelum aku menyebut nama kalian di akhir sujudku. Mak, Pak, Tahukah kalian disini Allah sedang memberikan ujianNya padaku. Ia ingin aku bertambah baik, baik itu dari segi Akhlak maupun Iman. Mak, Pak, Allah begitu sangat amat menyanyangiku. Ia ingin aku tuk menghargai kesederhanaan, hidup dalam kecukupan.



…………………………………………….………………To Be Continue (Makassar, 5 Jan 2014)