SM-3T PARA KI HAJAR DEWANTARA MUDA

Saturday, June 25, 2016

| | | 0 comments

Dewasa ini guru adalah salah satu profesi yang sangat diinginkan oleh banyak orang. Banyak fasilitas pendukung yang didapatkan serta mudahnya jalur untuk meraih profesi ini. Guru pada pandangan masyarakat Indonesia merupakan suatu pekerjaan yang mulia namun seiring pergeseran waktu telah berubah dari sosok pengabdi menjadi pekerja yang lebih mengutamakan balas jasa.
Tujuan pendidikan sebagaimana yang tertuang di UUD yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat terlaksana dan bukan hanya susunan kata-kata bijak yang menjanjikan melainkan bukti riil yang membutuhkan tokoh pejuang yakni sosok guru teladan. Perahu phinisi tidak akan berlayar dengan baik dan sampai pada pulau pembebasan dari kebodohan tanpa dipimpin oleh nahkoda yang profesional. Begitu pula dengan lembaga pendidikan, tidak akan menghasilkan tunas-tunas bangsa yang akan tumbuh subur mekar dan akan mengharumkan bangsa tanpa bimbingan, dan arahan dari guru profesional.
            Melihat realita saat ini, pendidikan mengalami banyak penyimpangan dari tujuan semula yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Terbukti ragam kasus perbuatan tidak terpuji sejumlah oknum guru menambah daftar aib pendidikan di negeri ini. Sistem penilaian yang tidak berdasarkan tingkat pemahaman peserta didik, serta orientasi bisnis telah menjadi hal yang lumrah dalam dunia pendidikan kita.
Proses transformasi ilmu yang hanya mengejar jam tayang yakni isi dari silabus harus dibahas berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Dan setelah pembahasan, peserta didik pun diberi tugas dan diharuskan untuk menghafal pelajaran, bukan pemahaman yang ditanamakan. Memang kewajiban telah gugur tapi hasil pendidikan telah melenceng lagi hakikat pendidikan. Inilah yang akan berdampak pada ujian akhir nasional dimana guru yang harus sekedar memberi semangat ternyata kenyataanya guru yang harus ikut serta dalam ujian nasional. Buruk memang pendidikan di Indonesia terlebih lagi obral ijazah yang terjadi dan menghasilkan tenaga pendidik yang tak terdidik. Haruskah kita diam dengan ritual pendidikan yang ditokohi oleh para pendidik yang telah melenceng dari tugas mulianya sebagai pahlawan tanpa jasa. Bagaimana kita bisa menghasilkan tenaga pendidik yang profesional?
Pendidik saat ini harus kembali pada konsep Ki Hajar Dewantara yaitu ing ngarsa sung tulada (di depan menjadi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), tut wuri handayani (dari belakang mendukung). Hal itu bisa dimaknai bahwa tugas utama pendidik profesional adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Ada kesamaan konsep yang di tawarkan oleh SM-3T atau Sarjana Mendidik Daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Dimana para pendidik SM-3T tak hanya sekedar menjadi pengajar yang mentansferkan ilmu, mereka juga bertugas sebagai motivator untuk menumbuhkan semangat akan pentingnya pendidikan di kepala para peserta didiknya. Ibarat menanam sebuah pohon, tak kan tumbuh jika tak di rawat. Para pendidik SM-3T di rancang untuk menjadi pendidik masa depan untuk pendidikan yang lebih baik.


Salam MBMI. Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
SM-3T Angkatan V Kabupaten Berau

Tradisi Yang Membudaya

Tuesday, June 21, 2016

| | | 0 comments

Sudah tujuh bulan lamanya saya terbenam dalam hiruk pikuk Tanah Borneo. Kabupaten Berau tepatnya, tempatku mengabdikan diri selama setahun. Sarjana Mendidik Daerah 3T ( SM-3T) lah yang membawaku hingga ke Tanah Ini. Tanah yang tak pernah ada dalam mimpiku sebelumnya. Sama seperti mimpiku sebelumnya, tak pernah terbayangkan saya akan tinggal di perkampungan Dayak yang mayoritas non muslim. hampir seluruhnya menganut paham yang tak sama denganku. 
Kala itu, memasuki bulan maret yang bertepatan dengan tujuh bulan saya di perkampungan ini. Bulan maret merupakan bulan yang sakral juga bagi mereka, karena bertepatan dengan kenaikan Tuhan mereka. Acara yang mereka selenggarakan begitu meriah. 
Sudah menjadi tradisi di sebuah Perkampungan Dayak Punan acara mengotori wajah dengan arang atau pun kotoran wajan yang berwarna hitam. Perkampungan ini terletak di daerah Kalimantan Timur Kabupaten Berau, Kecamatan Kelay, Kampung Long Suluy. Mereka melakukan ritual ini sebagai salah satu syukur karena kegiatan ini telah berjalan lancar. Selain itu, mereka juga melakukannya untuk melepas segala penat selama kegiatan serta untuk menjaga agar silaturahmi mereka tetap terjalin.
Selepas kegiatan Paska yang berpusat di Kampung Kami, seluruh masyarakat baik yang dewasa maupun anak – anak mulai melakukan aksinya. Di mulai dari anggota keluarga, kerabat hingga ke tetangga. Tak ada satu pun anggota masyarakat yang dapat lolos dari kegiatan ini, tak terkecuali kami para pengajar. Kala itu kami sedang bersantai di depan rumah, tiba – tiba dari kejauhan terlihat beberapa anak murid kami yang sudah berlumuran dengan arang, baik itu di wajah maupun di tangan mereka. Awalnya kami tak menyangka kalau mereka pun akan melumuri kami dengan arang – arang itu. Namun, semakin lama mereka semakin mendekat dan dengan wajah yang sangat bersungut – sungut, mereka akhirnya sampai di kediaman kami. Tak berselang beberapa menit, terjadilah aksi coret mencoret di wajah dan di tangan kami. Awalnya kami melakukan perlawanan dengan menghindarinya. Mulai dari menutup pintu kamar hingga berontak ketika kotoran hitam itu akan mendarat di wajah kami. Namun, personil mereka semakin lama semakin banyak, sehingga kami pun harus pasrah dengan kotoran hitam yang mendarat di wajah kami. Namun, sebelum membersihkan kotoran kami menyempatkan untuk mengabadikannya dengan berfoto bersama.
Ini merupakan salah satu tradisi yang membudaya. Di sini, di Tanah Borneo.





Sabtu, 26 Maret 2016.

#SM3T#Angkt.V#UNM#Berau#Kal-Tim

Happy Ending

Saturday, June 11, 2016

| | | 2 comments


Seperti biasanya saat Ramadhan tiba, setelah selesai berbuka dan shalat magrib. Kaum muslimin berbondong – bondong melangkahkan kaki menuju mesjid terdekat untuk melaksanakan shalat taraweh. Tak jarang ada yang memilih untuk shalat di tempat yang lebih besar, seperti Mesjid Agung Atau Mesjid Raya. Kali ini Ramadhan sungguh berbeda dari Ramadhan – Ramadhan sebelumnya. Kali ini saya harus rela menghabiskan seluruh Bulan yang penuh berkah ini di Tanah Borneo. Namun, hal itu tak boleh menyurutkan semangat untuk beribadah. Selepas adzan magrib di tambah tadarussan ±15 menit, cepat – cepat ku tarik sajadahku dan melangkahkan kaki menuju mesjid. Kali ini kami memilih beribadah di dalam Mesjid, tak mau lagi di pelataran Mesjid. Angin malamnya ngeri, nusuk sampai ke jantung. Eh.

Ada satu pemandangan yang begitu menyita perhatianku. Seorang anak kecil yang berumur kira – kira 3 tahun. Anak laki – laki yang bergabung bersama barisan kaum wanita ketika hendak melakukan shalat taraweh. Saya rasa tak apalah orang dia juga masih anak kecil. Di tambah lagi anaknya lucu dan ganteng. Tetiba langsung baper, ya kalau udah nikah maunya punya anak kaya gitu(Hahaha, Sambil senyam senyum dalam hati). Tibalah waktu sholat taraweh, sang imam memimpin Shalatnya dengan sangat khusyuk. Namun, si anak tadi mulai melakukan aksinya. Menjejalkan kaki pada sajadah kami satu persatu. Mondar – mandir kemudian tertawa sendiri. Ia begitu bahagia bermain, walaupun hanya seorang diri. Ada perasaan geram ketika si anak mondar – mandir tak karuan di sajadahku. Namun, masih ku maklumi toh dia juga masih tak mengerti dengan apa yang di lakukan. Selepas mengucapkan salam dan berdoa ku palingkan wajahku segera mencari sosok anak itu, yang jaraknya tak begitu jauh dari tempatku. Namun, apa yang kudapati, ibu dari anak itu mulai menjejalkan tangannya pada telinga dan tangan anak itu. Hatiku teriris, tak tega melihat anak yang tak tahu apa – apa di perlakukan seperti itu. Tanpa ku sadari mataku tak berkedip memandangi kejadian itu. Hatiku semakin sakit ketika melihat mata anak itu mulai berkaca – kaca. Tak tega rasanya melihat anak seimut itu menitihkan air mata. Tanpa ibunya sadari, ternyata tindakannya itu membuat anaknya takut hingga si anak tak lagi mondar – mandir. Ia hanya berdiam diri di tempatnya. Ternyata hal itu membuat si anak patuh dengan orang tuanya. namun satu hal yang tak di sadari ibunya, ia membatasi ruang gerak si anak. Tak membebaskannya. Ah, itu urusan ibunyalah. Setidaknya saya sedikit belajar bagaimana si ibu mendidik anaknya. Tanpa di duga, pada saat rakaat terakhir dari shalat taraweh sebanyak delapan rakaat sang ibu memanggil si anak. Ia kemudian mendekat anak – anaknya erat – erat. Mataku pun tak melewatkan adegan itu. Adengan yang membuatku pikiranku terbang menyebrangi lautan hingga ke Pulau Sulawesi. Terbayang wajah ibu dan ayah yang hampir setahun tak bertatap muka dengan mereka. Ketahuilah sekasar apapun orang tua terhadap kita, itu mereka lakukan untuk kebaikan kita pula. Tak jarang kita salah mengartikannya. Saya belajar dari kisah ibu dan anak yang ada di mesjid. Sebenarnya ia tak tega bertindak kasar pada anaknya, namun jika hal itu tidak dia lakukan mungkn si anak akan terus berjalan mondar mandir dan membuyarkan konsentrasi orang yang beribadah. Ah, itu baru kemungkinan dan persepsi semata. Dan akhir dari segala ceritanya. Happy Ending. Si ibu dan anak saling bergandengan tangan ketika keluar melalui pintu utama Mesjid. ^_^…

Tujuh Belas Agustus, Ada Apa Dengan Dikau?

Friday, June 3, 2016

| | | 1 comments

Ada apa dengan 17 Agustus tahun ini selain bertepatan dengan weekend yang dirasakan setiap weekendnya. Tak ada yang istimewa dengan 17 Agustus, makanya wajar jikalau saya heran dengan gegap gempita para media sang pengubah mindset masyarakat yang terkadang berprilaku seolah tak merasa bersalah dengan kesalahannya.

Untuk tahun ini saja 2 kali aku mengalami hal yang menurutku cukup identik, bahkan sampai-sampai aku sempat merasa mengalami deja vu. Suasana pada Bulan Ramadhan yang mencapai puncak di shalat Idul Fitri yang mirip dengan bulan peringatan pembacaan teks proklamasi RI.

Dalam bulan Ramadhan, sebagian besar umat muslim berkamuflase menjadi muslim yang taat. Sajadah disempang dibahu, sarung melekat atau langsung memakai jubah terusan, serta kopiah untuk mempergagah penampilan. Sedangkan untuk perempuannya, seharian bersama mukenahnya. Masjid pun mirip taman wisata yang menarik minat ketika musim libur telah tiba. Suara tadarruz Al-Qur’an membahana diseantero nusantara seolah-olah ingin menebus kesalahannya selama 11 bulan yang tak pernah menjamah Al-Qur’an sedikit pun.

Hal yang sama berlaku untuk bulan teks proklamasi. Dikarenakan kebetulan 17 agustus dan sekitarnya mepet dengan Ramadhan, maka waktu persiapan pegelaran seolah nasionalisme diperpanjang. Begitu banyak atribut bercorak sama merah dan putih terpampang disetiap sudut negeri ini. Masyarakat yang kebanyakan tak menyadari bahwa mereka sakit ini langsung merubah perannya, dari yang ahli ibadah menjadi patriotik banget.

Bulan Ramadhan yang puncaknya Idul Fitri ini tak ada bedanya dengan bulan teks proklamasi. Oleh masyarakat sakit ini sama-sama didengungkan dengan dahsyat ketika masuk bulannya dan akan terlupakan secara teratur seiring nafsu yang tak tertahankan serta westernisasi yang bisa mengangkat trendinya kehidupan mereka.

Tak ada yang spesial di 17 agustus, selain hanya pidato serta ocehan berbau nasionalisme oleh para kaum yang merasa dirinya menguasai masyarakat yang sakit. Mereka menganggap dengan slogan nasionalsime serta pakaian yang bercorak merah putih sudah lepas kewajibannya terhadap rakyatnya, sudah terhapus segala dosanya terhadap rakyatnya. Anggapan yang keren menurutku.

Maka Hal paling rasional yang bisa kulakukan pada 17 Agustus cukup sederhana. Ritual yang sudah saya terapkan selama 3 tahun belakangan ini. Bersemayam, bersemedi, dan melakukan kontemplasi dibawah selimut sambil merutuki para manusia penampuk kekuasaan yang sebagian besar dari mereka, merasa dirinya manusia setengah dewa. Hal menggelikan menurutku, untuk kalian para manusia yang ingin menjadi setengah dewa, silahkan bermimpi mewujudkan impian kalian, karena disini ditempat paling nyaman menurutku, aku bisa memimpikan kalian tak bisa meraih impian yang kalian inginkan. Sungguh hal yang fantastis pikirku.

# Sekedar ocehan dari salah satu masyarakat malas yang jengah dengan kepongahan para penguasanya. Hanya catatan mengisi waktu senggang untuk menjemput tidur yang susah didapatkan. Tak ada niat apa-apa dari tulisan ini selain hanya menuangkan apa yang ada dikepala, sehingga ketika beranjak ke tempat ternyamanku, bebanku karena tingkah pongah para manusia setengah dewa bisa berkurang, sungguh pekerjaan yang tidak berguna buat sebagian orang (mengurusi Negara yang tidak punya solusi ditambah dengan kelakuan penguasanya). Jikalau ada yang tersinggung, mohon dimaafkan. Bukan karena tulisan ini aku mau dimaafkan tapi karena muak dengan trend selebriti dadakan.

# mengangkat kepala cerita dengan adanya unsur bagian 1, berarti berniat membuat bagian 2. Yah, rencana sih begitu. Tapi, seperti kata bijak yang sering didengungkan ‘manusialah yang merencanakan, Tuhan yang menentukan’, jadi lihat esoknya sajalah. Hehehehe

Katanya Seh Part II…

Setelah berpikir semalam suntuk, akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan rentetan kalimat yang kubuat sebelumnya. Sekali lagi tak ada unsur apapun didalamnya, namun ada perasaan mengganjal yang ingin kubagi kepada orang disekitarku, untung – untung bisa dilihat oleh ribuan manusia di belahan dunia. Semoga !

Tujuh Belas Agustus setiap tahunnya diperingati dengan kemewahan. Perlombaan sana sini, katanya untuk mengenang jasa para pahlawan. Tapi terkesan dan mengarah ke arah yang berlebihan. Padahal dahulu kala para pahlawan justru kekurangan dalam membela negeri ini. dengan bermodalkan bambu runcing, sedangkan para kaum penjajah mengenakan senjata. Ah, sungguh tragis bangsaku.

Para penguasa yang sekarang ini yang katanya mempunyai Nasionalisme yang besar tak ayal Hanya Menuai hasil yang tak pernah mereka tanam. Justru sekarang mereka malah asyik menghamburkannnya. Bahkan dengan entengnya dan tak punya rasa malu, menjual apa yang bukan hasil jerih payahnya kepada penduduk di negeri seberang, sedangkan negeri sendiri tak berkecukupan. Aduh, malang nian nasib Bangsaku.

Sekarang bangsa kita survive berkat usaha dan kerja keras para pahlawan kita. Dengan segala keterbatasan mereka, memukul mundur para penjajah yang berusaha mengambil alih hunian kita. Nah, kalau sekarang para penampuk kekuasaaan justru ngehamburin jerih parah para pahlawan kita? Nah, generasi kita yang selanjutnya bagaimana dunk? Waduh, para nih. Bukankah kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh generasi yang selanjutnya? Semestinya kita mencontoh para pendahulu yang berjuang untuk kelangsungan hidup kita sekarang, nah bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memikirkan bagaimana nasib generasi kita yang selanjutnya? Sebuah tanda tanya yang masih menjadi tanda tanya besar untuk kita pikirkan?

#Repost