Ada
apa dengan 17 Agustus tahun ini selain bertepatan dengan weekend yang
dirasakan setiap weekendnya. Tak ada yang istimewa dengan 17
Agustus, makanya wajar jikalau saya heran dengan gegap gempita para media sang
pengubah mindset masyarakat yang terkadang berprilaku seolah tak
merasa bersalah dengan kesalahannya.
Untuk
tahun ini saja 2 kali aku mengalami hal yang menurutku cukup identik, bahkan
sampai-sampai aku sempat merasa mengalami deja vu. Suasana pada
Bulan Ramadhan yang mencapai puncak di shalat Idul Fitri yang mirip dengan
bulan peringatan pembacaan teks proklamasi RI.
Dalam
bulan Ramadhan, sebagian besar umat muslim berkamuflase menjadi muslim yang
taat. Sajadah disempang dibahu, sarung melekat atau langsung memakai jubah
terusan, serta kopiah untuk mempergagah penampilan. Sedangkan untuk
perempuannya, seharian bersama mukenahnya. Masjid pun mirip taman wisata yang
menarik minat ketika musim libur telah tiba. Suara tadarruz Al-Qur’an membahana
diseantero nusantara seolah-olah ingin menebus kesalahannya selama 11 bulan
yang tak pernah menjamah Al-Qur’an sedikit pun.
Hal
yang sama berlaku untuk bulan teks proklamasi. Dikarenakan kebetulan 17 agustus
dan sekitarnya mepet dengan Ramadhan, maka waktu persiapan pegelaran seolah
nasionalisme diperpanjang. Begitu banyak atribut bercorak sama merah dan putih
terpampang disetiap sudut negeri ini. Masyarakat yang kebanyakan tak menyadari
bahwa mereka sakit ini langsung merubah perannya, dari yang ahli ibadah menjadi
patriotik banget.
Bulan
Ramadhan yang puncaknya Idul Fitri ini tak ada bedanya dengan bulan teks
proklamasi. Oleh masyarakat sakit ini sama-sama didengungkan dengan dahsyat
ketika masuk bulannya dan akan terlupakan secara teratur seiring nafsu yang tak
tertahankan serta westernisasi yang bisa mengangkat trendinya
kehidupan mereka.
Tak
ada yang spesial di 17 agustus, selain hanya pidato serta ocehan berbau
nasionalisme oleh para kaum yang merasa dirinya menguasai masyarakat yang
sakit. Mereka menganggap dengan slogan nasionalsime serta pakaian yang bercorak
merah putih sudah lepas kewajibannya terhadap rakyatnya, sudah terhapus segala
dosanya terhadap rakyatnya. Anggapan yang keren menurutku.
Maka
Hal paling rasional yang bisa kulakukan pada 17 Agustus cukup sederhana. Ritual
yang sudah saya terapkan selama 3 tahun belakangan ini. Bersemayam, bersemedi,
dan melakukan kontemplasi dibawah selimut sambil merutuki para manusia penampuk
kekuasaan yang sebagian besar dari mereka, merasa dirinya manusia setengah
dewa. Hal menggelikan menurutku, untuk kalian para manusia yang ingin menjadi
setengah dewa, silahkan bermimpi mewujudkan impian kalian, karena disini
ditempat paling nyaman menurutku, aku bisa memimpikan kalian tak bisa meraih
impian yang kalian inginkan. Sungguh hal yang fantastis pikirku.
#
Sekedar ocehan dari salah satu masyarakat malas yang jengah dengan kepongahan
para penguasanya. Hanya catatan mengisi waktu senggang untuk menjemput tidur
yang susah didapatkan. Tak ada niat apa-apa dari tulisan ini selain hanya
menuangkan apa yang ada dikepala, sehingga ketika beranjak ke tempat
ternyamanku, bebanku karena tingkah pongah para manusia setengah dewa bisa
berkurang, sungguh pekerjaan yang tidak berguna buat sebagian orang (mengurusi
Negara yang tidak punya solusi ditambah dengan kelakuan penguasanya). Jikalau
ada yang tersinggung, mohon dimaafkan. Bukan karena tulisan ini aku mau
dimaafkan tapi karena muak dengan trend selebriti dadakan.
#
mengangkat kepala cerita dengan adanya unsur bagian 1, berarti berniat membuat
bagian 2. Yah, rencana sih begitu. Tapi, seperti kata bijak yang sering
didengungkan ‘manusialah yang merencanakan, Tuhan yang menentukan’, jadi lihat
esoknya sajalah. Hehehehe
Katanya Seh Part II…
Setelah
berpikir semalam suntuk, akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan rentetan
kalimat yang kubuat sebelumnya. Sekali lagi tak ada unsur apapun didalamnya,
namun ada perasaan mengganjal yang ingin kubagi kepada orang disekitarku,
untung – untung bisa dilihat oleh ribuan manusia di belahan dunia. Semoga !
Tujuh
Belas Agustus setiap tahunnya diperingati dengan kemewahan. Perlombaan sana
sini, katanya untuk mengenang jasa para pahlawan. Tapi terkesan dan mengarah ke
arah yang berlebihan. Padahal dahulu kala para pahlawan justru kekurangan dalam
membela negeri ini. dengan bermodalkan bambu runcing, sedangkan para kaum
penjajah mengenakan senjata. Ah, sungguh tragis bangsaku.
Para
penguasa yang sekarang ini yang katanya mempunyai Nasionalisme yang besar tak
ayal Hanya Menuai hasil yang tak pernah mereka tanam. Justru sekarang mereka malah
asyik menghamburkannnya. Bahkan dengan entengnya dan tak punya rasa malu,
menjual apa yang bukan hasil jerih payahnya kepada penduduk di negeri seberang,
sedangkan negeri sendiri tak berkecukupan. Aduh, malang nian nasib Bangsaku.
Sekarang
bangsa kita survive berkat usaha dan
kerja keras para pahlawan kita. Dengan segala keterbatasan mereka, memukul
mundur para penjajah yang berusaha mengambil alih hunian kita. Nah, kalau
sekarang para penampuk kekuasaaan justru ngehamburin jerih parah para pahlawan
kita? Nah, generasi kita yang selanjutnya bagaimana dunk? Waduh, para nih.
Bukankah kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh generasi yang selanjutnya?
Semestinya kita mencontoh para pendahulu yang berjuang untuk kelangsungan hidup
kita sekarang, nah bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memikirkan bagaimana
nasib generasi kita yang selanjutnya? Sebuah tanda tanya yang masih menjadi
tanda tanya besar untuk kita pikirkan?
#Repost
1 comments:
keep writing
Post a Comment