“Kuat kah juga ibu guru jalan”, Tanya Wang memastikan.
“Cobalah juga”, jawabku tak kalah menyakinkan.
Pukul 10.30 Wita kami akhirnya berangkat menuju sungai
kecil yang tak jauh dari kampung. Hari itu kami berencana menombak ikan di
salah satu aliran sungai yang tak begitu jauh dari pemukiman warga. Berbekal
tombak kecil, kacamata renang, air minum, serta camilan kami akhirnya berangkat
menuju lokasi. Rombongan kami terdiri atas anak anak didik kami di SDN 007
Kelay beserta salah seorang rekan guru. Ku juluki saja mereka PPC(Para penombak
cilik)
Kami berangkat pukul 10.30 wita dan tiba di lokasi ± pukul
11.30 wita. Satu bukit yang cukup tinggi lumayan menguras tenaga. Tak tanggung
– tanggung kemiringannya hampir membentuk sudut siku – siku. Tak ada bonus –
bonusnya sama sekali.
“Masih jauh kah pak?” Tanyaku terengah – engah pada salah
seorang rekan guru.
“ndag juga.” Jawabnya singkat
“Ayo mila, semangat mila, sudah tak jauh lagi kok.” Gumamku
dalam hati.
Setelah melewati bukit dan menyusuri sungai – sungai kecil,
akhirnya tempat yang dari tadi membuatku penasaran sudah ada di depan mata.
“Sampai kah sudah kita pak?” Tanyaku memastikan.
“Iya, ini sudah bu guru”. Jawab Pak nopi
Sesampainya di lokasi para PPC langsung melakukan aksinya.
Di lepasnya baju yang mereka kenakan kemudian melakukan atraksinya menombak
ikan. Mulailah mereka berkejar – kejaran dengan ikan di dalam air. Mereka
bahkan mengejar ikan hingga ke dalam sela – sela batu besar yang ada di sungai.
Tak lupa sesekali PPC ini memunculkan kepala untuk menghirup oksigen. Anak –
anak suku Dayak Punan ini memang terkenal dengan keahlihannya menyelam. Mereka
bisa menahan nafas di dalam air ±1-2 Jam. Wajarlah, dari kecil mereka memang
sudah di ajarkan oleh orang tua mereka. Sungai sudah seperti bagian dari hidup
mereka. Mulai dari transportasi, pekerjaan sehari - hari hingga aktifitas
pembersihan badan tak lepas dari sungai.
Tiga dari Empat anak yang hanya membawa tombak. Si kriwil
Alek tak membawa tombak, sehingga ia harus rela bergantian dengan temannya
untuk menombak. Hanya Wang, Robert Putih dan Robert Hitam yang membawa.
Kegiatan menombak ini ternyata tak hanya berpusat pada satu titik, kita harus
menyusuri aliran sungai laki’ai.
Tak berselang beberapa menit, si wang sudah mendapatkan
ikan. Di susul si Robert Hitam. Kepala ikan di pelintir kemudian di lemparkan
kepada pak nopi. Kami tak ahli dalam menombak, sehingga kami hanya bertugas
menangkap ikan yang di lemparkan anak – anak. Satu persatu ikan sudah tertusuk
dibambu kami.
“Ayo, istirahat dulu. Ini ada
cemilan yang pak guru bawa.” Seru pak nopi
Kami
pun beristirahat sejenak di atas bebatuan yang berada persis di tengah sungai
sambil menikmati cemilan yang di bawa pak nopi. Sesekali saya mengetes
kemampuan penjumlahan dan pengurangan mereka.
“Bet, dapat ikan berapa?” Tanyaku pada Robert Black
“Aklaw(Tiga)” Jawabnya dengan aksen Bahasa Punannya yang
khas
“Kalau kamu bet?” sambil menunjuk ke Robert yang satunya
“Ci’(satu)” Jawabnya malu – malu dengan aksen punannya yang
kental
“Jadi, Ikannya ada berapa donk” Tanyaku pada mereka berdua.
“Pet(empat)” celetuk Wang Yang
sedang asyik menombak. Tak ku sangka ternyata dia mendengarkan percakapan kami.
Hahaha.
“Nah, betul jawabannya
pet(Empat)”. Jawabku membenarkan perkataan wang.
Ikan sudah tak muat di bamboo,
sehingga kami harus meindahkannya ke kresek yang cukup besar. Setelah merasa
ikannya cukup banyak, kami lalu menghentikan acara menombaknnya.
“Ayo anak – anak kita bakar
sudah ikannya” Seru pak Nopi.
“Ayolah juga”.
Kami
mulai mengumpulkan ranting dan daun – daun untuk bisa menghasilkan api yang
lebih besar. Tak berselang beberapa menit, api pun menyala. Tak pikir panjang,
kami langsung menancapkan ikan pada ranting kayu yang telah kami bersihkan
kemudian meletakkannya dekat dengan api. Ah, suara gemericik air, nyanyian
burung – burung hingga pemandangan hijaunya yang menyejukkan mata. Masih serba
hijau dan alami. Tak terhitung ikan yang kami bakar waktu itu. Sampai – sampai saya
tak ingin berhenti.
Awan
mulai menutup sebagian cahaya matahari. Hingga matahari harus rela turun
perlahan – lahan. Jarum jam yang kulirik pun sudah menunjukkan pukul 15.00
Wita.
“Pulang
sudah kita, nanti kemalaman” Lagi – lagi pak Nopi mengambil alih percakapan
“Ae
a(Iya)” Sontak kami menjawabnya berbarengan.
Ah,
perjalanan pulang lumayan juga. Kami harus mendaki bukit demi bukit lagi.
Menuruni bukit yang hampir kemiringanya membentuk sudut siku – siku. Tepat
pukul 16.00 Wita kami akirnya dapat melihat perkampungan lagi. Ada rasa bahagia
sekaligus sedih yang berkecamuk. Tapi sudahlah, setiap perjalanan pasti akan
menemui akhir. Dan mungkin ini akhir untuk kisah kita hari ini. Mungkin esok akan
ada kisah baru yang lebih indah dari ini. Believe it and It will Happened. Sekian.
0 comments:
Post a Comment