Setiap Tahun ajaran baru, dunia
pendidikan, khususnya ditingkat universitas, mahasiswa seringkali dihebohkan
dengan yang namanya pengkaderan. Tak lengkap rasanya mengenyam dunia kampus
tanpa mencicipi pengkaderan. Pro dan kontra menemani perjalanan pengkaderan
hingga saat ini.
Pengkaderan mempunyai dua landasan
yaitu filosofi dan Normatif. Dimana landasan filosofi menyangkut tentang
manusia dan mahasiswa beserta perannya dalam masyarakat, seperti agent of
change dan social control. Adapun landasan normatif, berhubungan dengan aturan
– aturan yang berlaku pada suatu organisasi yang bersifat wajib dan harus
dipatuhi. Pengkaderan dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang tidak lupa akan
perannya sebagai manusia dan mahasiswa yang tidak bersifat apatis atau acuh tak
acuh terhadap lingkungan disekitarnya.
Awal
Mula Perpeloncoan
Perpeloncoan telah ada pada zaman
dahulu, tepatnya pada zaman kolonial Belanda, dimana saat itu berlaku sistem
feodalisme. Sistem feodalisme merupakan sistem yang memberikan kekuasan penuh
pada golongan bangsawan. Dimana dalam pelaksanaanya ditandai dengan banyaknya
tindak kekerasan. Golongan bangsawan berkuasa penuh terhadap golongan
dibawahnya. Dalam konteks mahasiswa, Hal inilah yang kemudian menimbulkan
senioritas, dimana senior berkuasa penuh terhadap juniornya. Perpeloncoan kini
telah menjadi momok bagi mahasiswa baru. Mereka menganggap perpeloncoan sama
halnya dengan pengkaderan, namun pada dasarnya berbeda. Pengkaderan membawa
muatan-muatan yang bermanfaat bagi mahasiswa baru, sedangkan perpeloncoan
hanyalah kesia – siaan. Tidak ada manfaat yang ditimbulkan.
Potret
lain Dibalik Pengkaderan
Masyarakat pada umumnya dan mahasiswa
pada khususnya terkadang menyalahartikan pengkaderan. Mereka menganggap bahwa
pengkaderan hanyalah perpeloncoan dan kekerasan semata. Tak dapat dipungkiri, pengkaderan
memang erat kaitannya dengan kekerasan, namun itu semata – mata dimaksudkan
agar junior berada di dalam kuasa seniornya. Kekerasan yang dimaksudkan dalam
hal ini seperti tendangan, pukulan, maupun kategori rendah seperti push up
ataupun lari keliling. Padahal mereka diperlakukan seperti itu, akibat dari
kesalahan dan kelalaian mereka sendiri seperti, tidak datang tepat waktu, tidak
mengenakan pakaian yang sesuai, dan lalai dalam tugas yang diamanahkan
kepadanya. Kekerasan yang diberikan kepada mereka, semata – mata agar mereka tidak
mengulangi kesalahan yang sama dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih
baik. Pengkaderan pun ditujukan untuk memangkas sifat mahasiswa yang
individualistik, yang merupakan perilaku yang masih dibawa semasa SMA. Dimana
mereka diajarkan untuk menjunjung tinggi kebersamaan. Adapun maksud dan tujuan
kekerasan dalam pengkaderan ialah untuk melatih mental para mahasiswa agar
bermental baja, tidak bermental kerupuk yang nantinya akan menghasilkan
generasi – generasi yang cenggeng dan lembek. Namun, dalam perjalanannya, kader
– kader yang dihasilkan dalam pengkaderan tak seperti apa yang diharapkan. Hal
inilah yang kemudian menjadi salah satu kekurangan dari pengkaderan, kurangnya
evaluasi yang dilakukan si pengkader, jikalau sang kader tidak seperti apa yang
kita harapkan. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian yang serius agar
pengkaderan dapat meghasilkan kader – kader yang berkualiatas.
Pengkaderan
ala Indonesia dan Negara Maju
Negara – Negara maju seringkali menjadi
cerminan bagi Negara Indonesia. Mengapa kita tidak mengikut pada prosesi
penyambutan mahasiswa baru pada Negara – Negara maju yang dimana dalam
pelaksanaannya tidak terjadi tindak kekerasan, kita diperkenalkan pada lingkungan
kampus secara bersahabat? Namun, pernahkah terpikirkan dibenak kita, bahwa kita
berbeda dengan Negara – Negara maju, para pelaku – pelaku yang terlibat
didalamnya bisa dibilang sudah professional. Sedangkan di Indonesia? Mahasiswa
masih perlu perhatiaan yang khusus. Maka perlu di adakan pengkaderan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI)
pengkaderan merupakan proses, cara, perbuatan mendidik atau
membentuk seseorang menjadi kader. Dalam artian, kita membuat karakter seseorang
menjadi lebih baik. Pada Negara maju, pengenalan kampus terbilang singkat di
tambah lagi mahasiswa lebih diarahkan kepada kegiatan akademis. Para orang tua
lebih bangga jika anak – anak mereka punya IPK Tinggi tanpa mempertimbangkan
penyaluran potensi yang dimiliki oleh anak-anaknya.
Pengkaderan yang Ideal
Sudah
idealkah pengkaderan kita? Ataukah sudah berkualitaskah kader-kader kita, yang
punya prestasi dibidang akademik tapi tidak mengesampingkan potensi yang mereka
miliki? Ini mungkin beberapa pertanyaan yang sering terlintas dibenak kita,
melihat kondisi kurang baiknya keluaran dari pengkaderan kita. Selama ini,
belum ada format ideal yang benar – benar bisa menciptakan kader yang
berkualitas tidak hanya dalam hal akademik, tapi juga dalam hal berorganisasi. Bahkan
pihak birokrat pun seringkali mengganggap pengkaderan tak ada gunanya, melihat
orang yang mengkader belum tentu bisa menjadi contoh yang baik untuk sang kader
kelak. Inilah kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin pengkader
bisa menciptakan kader yang baik atau berkualitas, sedangkan sang pengkader pun
masih belum bisa menjadi contoh yang baik? Ataukah kita harus mengadakan
semacam pelatihan untuk pengkader(Training
Of Trainer) agar kelak sang pengkader bisa menghasilkan kader yang
berkualitas? Ataukah kita hanya mengikuti tradisi yang sudah ada?
0 comments:
Post a Comment